Mencukupkan Diri

 

Suatu kali berangkat kerja, saya berencana untuk mampir ke sebuah bengkel tambal ban dengan tujuan mengisi angin untuk ban motor yang sudah terasa kempis dan tidak nyaman digunakan untuk perjalanan. Dari rumah, saya sudah menyiapkan uang untuk membayar biaya itu, saya lebihkan sedikit dari biaya pada umumnya.

Ada satu bengkel yang sering saya kunjungi untuk mengisi angin. Sengaja saya lewat ke jalan menuju bengkel itu. Tapi dalam perjalanan itu, saya melihat satu bengkel pertama, secara refleks saya menghentikan laju motor saya, tidak berpikir panjang untuk mengisi angin di bengkel yang bukan biasanya saya kunjungi, hanya pernah sekali sebelumnya saya menggunakan jasa bengkel tersebut.

Setelah selesai mengisi angin, segera saya sodorkan uang untuk biayanya, dan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan saya. Tapi bapak pemilik bengkel itu segera mencari uang kembalian dan segera menyodorkan kembali pada saya. Saya menolaknya, tetapi bapak tersebut lebih bersikeras untuk memberikan kembalian tersebut. Akhirnya saya menerima uang kembalian yang sebenarnya tidak seberapa. Saya menghargai prinsipnya untuk tidak menerima dengan cuma-cuma.

Menerima, sebuah sikap yang kebanyakan orang menyukainya, mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma. Tetapi bapak pemilik bengkel ini memiliki sikap di luar kebiasaan, hanya menerima sesuai dengan harga yang seharusnya ia terima, meskipun harga tersebut sungguh amat murah. Dan meskipun penghasilannya yang tidak seberapa yang ia dapatkan, ia menolak menerima sesuatu dengan cuma-cuma.

Mungkin saja orientasi bapak tersebut bukanlah materi, mungkin saja orientasinya adalah harga diri, menerima sesuai porsinya, menerima sesuai dengan hasil usahanya. Mencukupkan dirinya sesuai yang dimilikinya.

Mencukupkan diri sesuai apa yang kita miliki, adalah hal yang sudah jarang terjadi. Apalagi dalam gaya hidup saat ini, kebutuhan hidup yang semakin banyak, keinginan hidup yang tercipta dari hal-hal yang dunia tawarkan, membuat orang semakin bersemangat untuk menggapai sesuatu hingga di luar apa yang dimilikinya, dan pada akhirnya apa yang kita miliki selalu tidak dapat mencukupi kepuasan kita.

Mencukupkan diri, tidak berfokus pada materi, melainkan rasa syukur terhadap apa yang kita miliki, mengelolanya dengan bijak hingga cukup. Berfokus kepadaNya, kepada kasihNya, kepada anugerahNya sehingga kepuasan dan sukacita melingkupi kita. Kepuasan sejati hanya oleh Dia.

Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Ibrani 13:5


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Tuhan mengasihiku - Cara Tuhan mengasihimu

Menata Sesuatu